Aku tak mengerti lagi apa yang seharusnya aku lakukan. Sungguh hampa sekali hidup ini ketika aku menyadari aku telah kehilangan. Sering aku berusaha untuk mengabaikannya, agar aku tidak larut untuk memikirkannya lebih jauh. Tetapi pada kenyataanya aku memang selalu memikirkannya, dalam kesadaran taupun tidak.
Aku juga tak mengerti harus mengadu kepada siapa selain kepadaNya. Kutuliskan segalanya pada selembar kesrtas putih yang aku tujukan kepada Tuhan. Tiada daya lagi yang bisa kulakukan selain menuliskan segalanya dan memanjatkan doa-doa berisi pengharapan dan welas kasih yang selalu aku impikan, yang selalu kunantikan kehadirannya dalam hidupku.
Kata orang dewasa, hidup adalah siklus, dimana perubahan-perubahan itu selalu berlangsung tanpa diminta, tanpa diharapkan, bahkan tanpa disadari. Sedangkan aku lebih banyak tak siap menerima semua itu sendirian, tanpa siapa pun selain Tuhanku. Mereka bilang aku hanya kurang bersyukur karena tak menyadari siapapun yang akan dating untukku, untuk menemaniku dalam segala hal perubahan dihidupku. Lalu bagaimana aku mengucapkan rasa syukur itu bila pada dasarnya aku tak mendapati mereka datang padaku. Sekeras hati kucoba mendatangi mereka, namun aku tak kuasa menyeret mereka dalam segal tetek-bengek hidupku. Lalu apa, jika harus jujur aku tak dapat menghadapi segala yang berjalan di hadapanku.
Perubahan itu menghantamku bertubi-tubi, sakit sekali hingga terkadangmembuatku kehilangan keseimbangan. Aku berusaha menggapai tangan siapapun yang terarah, namun tak ada satupun lengan yang menengadah untukku berinertia. Ironi.
Aku tak ingin mendapatkan simpati berlebihan dari seseorang, hanya empati yang nihil atas ketulusan. Aku tak dapat percaya lagi kepada siapapun, hanya padaNya. Sering aku dikejar oleh ketakutanku sendiri untuk membuka mata ketika fajar, aku lelah untuk menghadapi segalanya. Namun aku juga lelah dikejar mimpi buruk tiap kali kelopakku terpejam. Aku hidup dalam ketakutanku sendiri hingga aku terbujur lemah menghadapi kenyataan yang menghujamku keras seketika. Aku belum memasang kuda-kuda untuk menghadapinya. Namun lagi-lagi seseorang membisikkan sebuah kalimat untukku
“Dia tak akan pernah bertanya padamu apakah kau siap menghadapi segala hal yang akan terjadi, juga kematianmu”
Aku tersentak mendengarnya. Kalimat itu berjuta-juta kali menari di otakku. Hatiku mengiyakannya. Tak akan pernah ada yang bertanya padaku apakah aku siap menghadapi segala hal yang Dia takdirkan untukku. Walaupun tak membuat kepayahanku berkurang, aku sedikit bernafas lega karenanya.
Pada akhirnya aku akan mengabaikan segalanya lagi. Menangis tanpa kumau, tertawa karena kumau, dan marah karena kumau juga. Aku mengabaikan segala hal yang membuat perubahan itu semakin jelas di mataku. Aku tak mau peduli. Biar saja menjadi bom waktu suatu saat. Setidaknya itu hanya sekali dan bukan berangsur-angsur seperti yang ku rasakan akhir-akhir ini .. Yaa aku pasti mengabaikannya .. Pasti ..
is written on March 6th 2011