Hello there,
no right click.
Thank You! =)
foglaite-foglaite.blogspot.com =))

tagboard codes here.

Senin, 02 Mei 2011

It still makes me disappointed

When spoken words were all just lies

Can you imagine what kind of sickness that you made

Where love is once the biggest part

When there was joy in every beat, every single breath

Why do i have to cry?

Can you realized it, It hurts me so deep,

When I remind everything about YOU

Your smile, your laugh, your hugs, It seems unmeaning for you, Isn't it ?

How foolish am I. You must have been just an illusion.

I dream the dreams like lovers do.

I get down on my knees just to wish that you're for me.

That YOU are the one, what I spelled just your name !

What I had wait just you, you, and you !!

I don't know what happened with you, you just gave me many signals to reach you

How could I allow it.

I like you more than ever, can you see it from my eyes. You blame me.

Feeling empty, hopeless, lonely, guarded, and wondering WHY ?

Why you hurt me. Now there's no difference between my teardrops and the rain. It's all because of you !

I have love you and all that remains is my broken heart.

It's days like these when it's difficult to allow myself out of window and force myself to face the real world, for the real world is a scary place to be standing in alone. Without You anymore, without my laugh about you, not at all.

Trying to display a smile, trying to have hope that it will all come together. But honestly, with each passing day, the hope I have lessens ..

FERY (bawel)


This Note is dedicated for a Boy that made me laugh in every second, ours : Fridaynight, March 25th 2011 @haunted house festival, Babarsari.


Signed Off @ 06.12



Membosankan memang memaksa matamu untuk mencerca tiap huruf dalam tulisanku hingga kalian mengerti tentang apa yang sedang ku embankan tentangnya. Hanya aku yang dapat merasakannya, mungkin sama dengan yang kalian rasakan, mungkin juga tidak. Tapi aku ingin membagi satu hal kepada kalian, bahwa setiap orang memilih jalannya sendiri. Tuhan bukan mendekdok kita dengan satu takdir, melainakan memberikan kita beberapa pilihan takdir untuk kita pilih, lalu kita ubah sedemikian rupa menurut jalan yang telah Tuhan pagari dari setiap pilihan-pilihan takdir itu. Tuhan memberikan kita pilihan, bukan memberikan kita satu takdir saja. Kitalah yang menentukan kemana takdir kita atas pilihan itu.

Ini bukan kali pertama aku menulis tentangnya. Mungkin sudah belasan atau bahkan puluhan kali aku menuliskannya, untuk siapa lagi kalu bukan untuknya. Jujur, sampai saat ini pun aku tak pernah bisa mencegah otakku untuk tidak menggantungkan namanya lekat-lekat agar dapat aku ingat selalu. Entah, aku juga tak mengeri apa yang ku rasakan, karena aku sendiri tak begitu peduli dengan apapun yang aku ilhami tentangnya, mungkin aku terlalu takut untuk mengakui segala yang terpendam begitu saja di sini. Takut, yaaa, ku akui aku takut.

Aku pernah mendengar dari seseorang yang dipercaya Tuhan, bahwa ketika kita tidak lagi bersama seseorang yang dianggap penting dalam menjalin hubungan berpasangan maka kita akan mendapatkan seseorang yang lebih segala-galanya dari dia, karena itu berarti dia bukanlah yang terbaik yang diberikan Tuhan untuk kita. Aku sadar benar mengenai hal itu. Juga tersebut mengapa aku menjadikannya prinsip hidupku sejak pertama aku mendengarnya. Semua teresap dalam tatanan hidupku, menjadi sebuah prinsip yang fundamental dalam hidupku. Tapi ini sedikit berbeda dengannya, aku tetap pada prinsipku, namun betapa pun banyak orang mengisi hatiku bergantian, dia memiliki satu ruang berbeda di sini, tak akan kemana, tak akan terganti sekalipun ada yang menjajarinya di hatiku. Sulit untukku sendiri mengerti akan apa yang ku yakini sekian lama tentangnya. Aku tak pernah berharap untuk menjadi seseorang yang berarti dalam hidupnya, sekalipun harapan itu tetap ada walaupun sedikit, aku tak pernah bermimpi untuk medampinginya. Kau tahu, ini tabu untukku. Aku menginginkan yang terbaik untukku nanti, tapi bukan saat ini. Betapa bodohnya ketika aku memanjatkan permohonan tentang sebuah hubungan sejati dari seorang Bajingan sepertinya. Itu jelas bukan diriku sendiri. Betapapun rasa ni menggebu-nggebu dalam tiap kedipan mataku, aku menginginkan yang benar-benar terbaik untukku, dan itu jelas bukan dirinya. Yaa, aku sangat meyakininya.

Aku bisa menyayangi seseorang selain dirinya, beberapa mampir di hatiku dan menyisakkan bahagia yang tidak bisa dia berikan untukku, beberapa meninggalkan luka lebih dari yang dia berikan untukku. Luka tentangnya pun belum kering hingga saat ini, sungguh, ini membayangiku hingga saat ini. Sejenak ketika mereka mengisi ruang kosong di sini, sejenak pula aku bisa melupakannya. Tapi seperti aku katakan, itu hanya sejenak saja. Pada akhirnya ketika mereka semua pergi, bayangannya justru menghampiriku. Aku tak bisa berapriori kepadanya, bahwa dialah yang membuatku tidak bersyukur atas apa yang Tuhan pilihkan untukku. Ingin kutegaskan sekali lagi, aku membiarkan rasa ini tetap ada dalam diriku, namun bukan berarti aku membiarkan hidupku sia-sia untuk mengindahkan segala hal tentangnya. Aku memang membiarkan rasa ini melekat padaku, namun bukan berarti aku membiarkannya untuk mengembang dan mendesak ruang lain yang seharusnya kuberikan pada mereka yang mempunyai ikatan tulus padaku.

Aku juga yakin bahwa Tuhan memberi hari baik pada setiap manusia. Memang benar, setiap hari yang Tuhan berikan di dunia adalah hari baik, namun Tuhan juga pasti memberikan hari yang lebih baik dari pada hari-hari yang lain untuk seriap orang. Yaa, aku percaya itu. Lalu aku menganggap bahwa hari Kamis, tujuhbelas Maret dua ribu sebelas adalah hari baikku bersamanya. Sembilan jam aku menghabiskan waktuku untuk bersmanya. Menceritakan segala hal yang berkecamuk, bernostalgia dengan berbagai kenangan yang terbesit begitu saja, juga menunggu hujan. Aku tak menyukai hujan, tapi bukan berarti aku membencinya. Hari itu menjelang malam, mendung dan gerimis. Aku sangat menyukai gerimis, mungkin itu menjadi salah satu alasan mengapa aku menyebutnya sebagai hari baik. Tapi selebihnya adalah karena aku bisa bersamanya. Senyumnya, kerutan dahinya, lirikan sadisnya, tawa lepasnya, desahan manjanya, juga berbagai hal yang menjadi satu dalam dirinya masih terekam jelas di memoriku. Semua terasa nyata, bukan mimpi. Walaupun hanya sesaat, aku merasa bahagia menjalani segala hal yang melintas begitu saja. Aku sangat mengerti, adalah benar aku akan kehilangannya lagi setelah ini, sama seperti hari-hari sebelumnya. Tapi aku menikmatinya. Tapi aku menyukainya.

Dia seperti halnya dengan angin, datang hanya untuk sesaat. Seperti senja dengan semburat oranyenya yang memekakkan mata. Sayang dia bukan matahari, yang menjanjikan esok tetap ada. Dia datang tanpa sebuah permintaan apalagi undangan, secara tiba-tiba menjadi sesosok yang sangat aku dambakan dengan segala kekurangan yang ditutupinya dariku, lalu hilang begitu saja, sangat cepat hingga tak menyisakan bekas sedikitpun. Dia ta pernah meninggalkan sebuah harapan, dia berjalan apa adanya, sesuai dengan apa yang dikehendakinya, itulah dia yang menjadikannya berbeda di mataku. Aku pernah terluka dengan segala hal yang dia saguhkan untukku, tapi seiring waktu berlalu semua menjadi biasa untukku. Dia akan datang lagi lalu pergi lagi, datang dan pergi begitu seterusnya. Mengapa aku membiarkan segala yang kurasakan mengenainya, karena semua hal tentangnya adalah tak pasti.

Aku juga pernah mendengar, bahwa Tuhan memberikan kita satu kesempatan untuk mengungkapkan apa yang terjadi di sini, di hati. Aku juga pernah mendapatkannya. Mungkin ini adalah traumaku hingga aku tak mau memikirkan rasa apa yang aku kasihkan padanya. Saat itu dia tak mempercayai segala hal yang ku ucapkan, bahwa aku menyayanginya, tulus. Hingga ketika Tuhan benar-benar baik dan memberiku kesempatan kedua melalui dirinya, dia menanyakannya padaku, ketika dia berkata ‘mengapa’, aku bukan lagi menjawab ‘karena aku menyayanginya’ namun aku menjawab ‘karena aku takut menjadi sayang padamu’, lalu dia bilang bahwa itu hanyalah alasan klasikku saja. Semua terhenti sampai itu saja, tak ada pembahasan lebih karena segala hal yang ingin kujelaskan padanya tersekat di tenggorokanku tanpa kompromi. Hingga saat ini pun aku tak pernah mengungkapkan segala hal yang berkecamuk dalam hati, yang terpendam sekian lama. Bahkan memikirkannya saja tidak. Mungkin takut menerima penolakan, mungkin trauma, entah aku tak ingin lagi peduli.

Aku tak akan berjanji untuk tidak menulis tentangnya lagi ataupun melenyapkan segala rasa untuknya. Dia adalah bagian lain dari hidupku yang tak akan mengganggu segala equiliburm yang aku jaga untuk mereka yang mengasihiku. Yang membuatku bersyukur dengan apa pun yang sedang ataupun telah terjadi. Tapi, aku menjadikannya hari baikku bersamanya, karena itu artinya, tak akan ada hari baik lagi untuknya, dengan itu pula ada satu kesimpulan, bahwa hari baikku adalah hari terakhir aku menyebut namanya di depannya. Dan itu adalah salah satu takdir yang kupilih dari Tuhan.



is written on March 18th 2011


Signed Off @ 06.07



Aku tak mengerti lagi apa yang seharusnya aku lakukan. Sungguh hampa sekali hidup ini ketika aku menyadari aku telah kehilangan. Sering aku berusaha untuk mengabaikannya, agar aku tidak larut untuk memikirkannya lebih jauh. Tetapi pada kenyataanya aku memang selalu memikirkannya, dalam kesadaran taupun tidak.

Aku juga tak mengerti harus mengadu kepada siapa selain kepadaNya. Kutuliskan segalanya pada selembar kesrtas putih yang aku tujukan kepada Tuhan. Tiada daya lagi yang bisa kulakukan selain menuliskan segalanya dan memanjatkan doa-doa berisi pengharapan dan welas kasih yang selalu aku impikan, yang selalu kunantikan kehadirannya dalam hidupku.

Kata orang dewasa, hidup adalah siklus, dimana perubahan-perubahan itu selalu berlangsung tanpa diminta, tanpa diharapkan, bahkan tanpa disadari. Sedangkan aku lebih banyak tak siap menerima semua itu sendirian, tanpa siapa pun selain Tuhanku. Mereka bilang aku hanya kurang bersyukur karena tak menyadari siapapun yang akan dating untukku, untuk menemaniku dalam segala hal perubahan dihidupku. Lalu bagaimana aku mengucapkan rasa syukur itu bila pada dasarnya aku tak mendapati mereka datang padaku. Sekeras hati kucoba mendatangi mereka, namun aku tak kuasa menyeret mereka dalam segal tetek-bengek hidupku. Lalu apa, jika harus jujur aku tak dapat menghadapi segala yang berjalan di hadapanku.

Perubahan itu menghantamku bertubi-tubi, sakit sekali hingga terkadangmembuatku kehilangan keseimbangan. Aku berusaha menggapai tangan siapapun yang terarah, namun tak ada satupun lengan yang menengadah untukku berinertia. Ironi.

Aku tak ingin mendapatkan simpati berlebihan dari seseorang, hanya empati yang nihil atas ketulusan. Aku tak dapat percaya lagi kepada siapapun, hanya padaNya. Sering aku dikejar oleh ketakutanku sendiri untuk membuka mata ketika fajar, aku lelah untuk menghadapi segalanya. Namun aku juga lelah dikejar mimpi buruk tiap kali kelopakku terpejam. Aku hidup dalam ketakutanku sendiri hingga aku terbujur lemah menghadapi kenyataan yang menghujamku keras seketika. Aku belum memasang kuda-kuda untuk menghadapinya. Namun lagi-lagi seseorang membisikkan sebuah kalimat untukku

“Dia tak akan pernah bertanya padamu apakah kau siap menghadapi segala hal yang akan terjadi, juga kematianmu”

Aku tersentak mendengarnya. Kalimat itu berjuta-juta kali menari di otakku. Hatiku mengiyakannya. Tak akan pernah ada yang bertanya padaku apakah aku siap menghadapi segala hal yang Dia takdirkan untukku. Walaupun tak membuat kepayahanku berkurang, aku sedikit bernafas lega karenanya.

Pada akhirnya aku akan mengabaikan segalanya lagi. Menangis tanpa kumau, tertawa karena kumau, dan marah karena kumau juga. Aku mengabaikan segala hal yang membuat perubahan itu semakin jelas di mataku. Aku tak mau peduli. Biar saja menjadi bom waktu suatu saat. Setidaknya itu hanya sekali dan bukan berangsur-angsur seperti yang ku rasakan akhir-akhir ini .. Yaa aku pasti mengabaikannya .. Pasti ..

is written on March 6th 2011


Signed Off @ 06.03



Saat aku bertanya mengapa, kau hanya menjawab karena cinta. Karena cinta kau belajar menjadi dirimu sendiri, dan karena cinta kau menjadi orang lain yang tak pernah aku kenal.

Kau bilang cinta itu fundamental, dia mendasar, mendasar dari hati, bukan pikiran, bukan pernyataan, tapi perlakuan sebagai wujud dari perasaan.

Ku bilang aku tak mengerti, karena aku tak pernah merasakan cinta. Lalu kau menyangkalku. Kau bilang cinta itu selalu mengikutiku kemana pun aku berpijak. Kareanya cinta tidak buta.

Ku bilang lagi kepadamu, aku tak mengerti. Lalu kau tersenyum, tipis. Kau lagi-lagi berkata bahwa aku mengenal apa itu cinta. Kau bilang cinta itu ketika aku bernafas, berkedip, berjalan, berlari, tertawa, menangis, marah, kecewa, sakit, semua adalah cinta, semua mendasar, dari hati, yaitu cinta.

Aku pulang dengan galau, memikirkan segala yang telah kau ucapkan untukku.

Ketika aku membuka ponselku, ada satu message darimu,

Kau bilang, "Kau hanya kurang bersyukur, selalu menjudge dirimu sendiri bahwa kau kau tak mengenal cinta, padahal dia selalu menyertaimu, kemana pun, kapan pun, dan dalam hal apapun. Ketika kau mengertnyitkan dahi untuk membaca message ku ini, itu pun juga cinta. Ketahuilah, kau hanya perlu bersyukur, maka kau akan tahu, ada cinta yang mendasarimu untuk berlaku demikian."


Signed Off @ 06.02



11 Januari 2011

11 Januari 2011

Hari ini umurnya 21 tahun, 11 Januari 2011. Aku telah menyiapkan segalanya, menyiapkan diriku secara rohaniah maupun batiniah. Sudah lama aku menanti hari ini, hari yang sangat aku tunggu-tunggu. Hari dimana semua alur kehidupanku akan berubah. Berubah menjadsi lebih sempurna.

Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin mengucur deras dibalik punggungku. Darahku berdesir hebat membuat aku semakin galu untuk melangkahkan kaki. Tapi aku memantapkan hatiku sejenak dan melangkah pasti ke ujung gang ini, rumah nomor 12. Halaman rumahnya ramai sekali, banyak mobil dan motor juga beberapa orang yang baru saja berdatangan. Aku menguatkan hati dan tekadku. Aku berjalan masuk.

-‘-‘-

4 Januari 2011

“Berangkat kapan, Sayang?” Reta menggelayut manja dipunggungku ketika aku sedang menyelesaikan tugas skripsi S2 ku.

“Besok, Sayang. Seminggu bakalan nggak ketemu nih. Kangen.” Aku mencium pipi Reta.

“Siapa bilang, kan bisa webcam.” Jawabnya santai sambil berlalu ke dapur.

“Mau kopi?” tambahnya sambil menengadah ke arahku.

“Nope, aku baru aja ngabisin cangkir ketiga ku. Kamu tumben deh datang ke rumah jam 1 dini gini. Kenapa nggak besok pagi aja.”

“Sekali-sekali.” Reta tersenyum padaku. “Aku kangen.”

-‘-‘-

3 Januari 2011

Reta meletakkan sekuntum mawar putih di dalam vas yang selalu aku letakkan di atas meja samping tempat tidurku, Dengan sigap diamengganti mawar yang layu dengan mawar barunya, selalu begitu, dua hari sekali dia mengganti mawar pemberiannya untukku. Aku tak mengerti mengapa dia melakukannya, yang aku tahu Reta menyayangiku, itu saja sudah cukup untukku.

Setiap aku bertanya padanya mengapa Reta selalu memberiku mawar putih, dia hanya membalasnya dengan tersenyum. Tapi kali ini berbeda, dia menjawab dengan kalimat yang tak aku mengerti.

“Karena aku ingin kamu mengerti bahwa sayangku padamu seperti sayangku untuk mengganti setiap mawar putih itu di tiap waktunya layu, mawar putih, adalah benar jika dia berwarna putih, suci, seperti kasih yang kuberikan untukmu, ku usahakan akan selalu putih. Seperti mawar yang kamu lihat ditiap kamu membuka mata.”

-‘-‘-

2 Januari 2011

Ini kemo terapi ketiga ku, tanpa kumau, perlahan rambutku mulai rontok helai per helai. Aku tak bisa mencegahnya sama sekali, aku harus membayar umurku dihari-hari mendatang dengan rambutku. Ah ini tak akan mengapa selama aku tahu Reta akan selalu ada disampingku, menyayangiku dan mendukungku untuk meluluskan studi S2ku. Itu saja cukup untukku.

Reta pernah berjnji padaku bahwa apapun yang terjadi nanti, dia akan tetap bersamaku seperti aku selalu ada untuknya ketika kanker otak ini belum membantaiku perlahan. Aku percaya padanya, seperti aku percaya pada matahari bahwa ia akan menepati janjinya untuk muncul lagi esok hari.

-‘-‘-

1 Januari 2011

Tahun baru, kuharap menjadi awal yang baru untukku dan Reta. Aku selalu berdoa pada Tuhan, agar Reta lah yang kulihat ditiap kali aku melihat, bahwa Reta lah yang kudengar merdu suaranya ditiap siaga telingaku.

Aku mencintai Reta sepeeti aku mencintai ibuku sendiri. Aku menyayangi Reta lebih dari caraku menyayangi diriku sendiri. Aku mengasihinya, tanpa satupun balasan yang kuharapkan kelak.

Reta adalah hidupku, nafas dalam aliran darahku. Reta adalah segalanya untukku. Segalanya. Apapun akan kulakukan untuknya. Aku berjanji.

-‘-‘-

11 Januari 2011

Kotak merah berbentuk hati yang kugenggam ikut bergetar seiring bergetarnya tanganku. Kalau boleh jujur, aku takut, sekaligus bahagia. Bahagia karena sebentar lagi Reta akan menjadi milikku seutuhnya. Mencintaiku dengan tulus, memberiku semangat untuk menyelesaikan pengobatanku di Singapura dan memulai rumah tangga yang bahagia bersamanya.

Aku memasuki halaman belakang rumah Reta di mana pesta ulang tahunnya diselenggarakan. Sudah sangat ramai rupanya. Ratusan orang berkumpul di halaman yang telah didesign dengan warna putih. Ada banyak mawar putih di sini. Pikiranku melayang, hari ini seharusnya Reta mengganti bunga mawarku, tapi tak dia lakukan. Ah mungkin dia sibuk menyiapkan pesta yang sedemikian besar ini.

Reta terlihat begitu anggun dengan long dress warna putih, rambutnya yang panjang menguntai indah. Senyumnya begitu menawan.

Aku menghampiri Reta, kekasihku. Reta sedikit terkejut dengan kedatanganku, kedatanganku yang sehari lebih awal dari seharusnya. Yaa, Reta memang harus terkejut.

Aku mencium kedua pipinya lembut, namun Reta sama-sekali tak tersenyum padaku, mungkin terkejut. Dadaku berdebar tanda surpriseku berhasil kali ini. Aku mengambil cincin yang telah aku siapkan jauh-jauh hari untuknya. Kutarik lembut tangan Reta dan hendak memakaikannya ketika kulihat ada sebuah cincin lain yang melingkar di sana. Mungkin hadiah dari orang tuanya. Aku hendak melepasnya dan memakaikan cincinku kepada Reta, namun dia menampikku. Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh, laki-laki berstel jas putih tersenyum sinis kepadaku.

“Maaf, Bung. Reta istriku.” Aku menoleh pada Reta, Reta hanya menunduk. Tanda setuju. Aku meninggalkan rumahnya dengan sakit yang tiada berperi.


is written on February, 6th 2011


Signed Off @ 05.55





The Gurl
Name
nit.nit.nit. jusT caLL me "anieT" thaNks foR open my BLog, :D DoN't foRgeT to leave soMe coMmeNts,

My Wishlist
Contact me
Examples;
Get SOTD
www.friendster.com/allaboutanit
fb: anit.kirei_chan@yahoo.com
fs: anit.mai10@yahoo.co.id
mxit : 6185729139697
mig33: anit.kirei_chan
nimbuzz: LoneLy_kawaii.girL
don't forget to add me ! !
Make Nice Blogskins

Connections
Click 4 Links!


Looking Back
# Desember 2008
# Januari 2009
# Februari 2009
# Maret 2009
# April 2009
# Mei 2011


The Applause
Designer: Siew Min
Basecodes: theBENDANs
Inspirations: Sandra Agnes Maggie Vanessa
Materials: x x x
Image Edits: Paint Tools